Perang Gincu di Atas Becak Saat Lebaran di Kotapinang, Labuhanbatu Selatan
Posted by Kotapinang pada Juli 17, 2010
Perang Gincu di Atas Becak Saat Lebaran di Kotapinang
Oleh: Deni Syafrizal Daulay
ADA satu tradisi anak-anak saat merayakan lebaran Idul Fitri di Kotapinang yang kini punah, yakni perang gincu menggunakan becak bermotor (Betor). Kini anak-anak di Kotapinang lebih tertarik menggunakan pistol mainan berpeluru plastik dalam menikmati hari lebaran, meski tradisi menggunakan becak masih dilakukan.
Aku ingat betul, saat masih duduk di bangku SD hingga SMP, seusai salat Idul Fitri di Lapangan Bukit ataupun di Masjid Raya, aku buru-buru pulang ke rumah untuk minta Tunjangan Hari Raya (THR) pada orang tua ku. Setelah makan dan mendapatkan uang, aku bergegas ke luar rumah dan berkumpul di pinggir jalan.
Di sana, sejumlah teman-teman ku pun sudah berkumpul. Kamipun patungan Rp 1000 per orang untuk naik becak. Masa itu sepeda motor atau yang disebut kereta masih minim. Satu-satunya showroom yang menjual sepeda motor hanya CV Indah Sakti. Karena itu becak jadi alat transportasi unggulan untuk kami.
Karena tubuh kami masih kecil-kecil, satu becak biasanya muat menampung kami hingga tujuh orang. Dua orang duduk di jok becak, dua orang duduk di tempat lipatan tenda, dan dua lainnya berdiri di depan jok sambil berpegangan pada tiang penyanggah depan becak tersebut. Sedangkan satu lagi duduk di belakang sopir.
Tujuan kami kala itu adalah danau Siborang. Sebelum berangkat, kami lebih dulu membeli air gincu biasanya berwarna merah dan hijau yang banyak dijual di pinggir jalan seharga Rp500 untuk tiga bungkus. Air bercampur gincu itu dibungkus dalam plastik berukuran 1/4. Sebagian teman lainnya membawa pistol berisi air yang juga diberi gincu.
Setelah perlengkapan selesai, kampun berangkat menuju danau Siborang. Di sepanjang jalan sudah banyak anak-anak lain berdiri untuk menyerang kami menggunakan air gincu. Saat melintas, perang pun terjadi. Aksi saling lempar gincu pun dilakukan. Tujuannya adalah bagaimana membuat baju baru yang dipakai anak-anak itu kotor penuh gincu.
Perang juga kami lakukan pada penumpang becak lain yang melintas di sebelah kami. Meski kerap sopir becak yang kami tumpangi kesal, namun tradisi itu sudah jadi hal lumrah. Lebaran tanpa perang gincu di atas becak terasa bukan lebaran. Bahkan hal itu jadi semacam ritual wajib hingga tujuh hari lebaran. Basah, kotor, dan dekil jadi hal yang menyenangkan kala itu.
Menjelang sore kami bergegas pulang. Rasa puas dan bangga telah menghabiskan hari itu dengan indah jadi cerita tersendiri. Kemarahan orang tua, bukan penghalang, yang penting kami puas menikmati hari lebaran.
Namun kini tradisi itu terkikis. Sekarang tak ada lagi penjual air gincu di pinggir jalan. Pedagang pistol mainan berpeluru plastik kini mendominasi. Permainan yang cukup berbahaya itu jadi tradisi baru bagi anak-anak di Kotapinang. Namun satu yang tak hilang yakni perang di atas becak, entah beberapa tahun lagi tradisi inipun bakal sirna. (*)
This entry was posted on Juli 17, 2010 pada 9:50 am and is filed under Lebaran Idul Fitri di Kotapainang. Dengan kaitkata: Labuhanbatu Selatan, Perang Gincu di Atas Becak Saat Lebaran di Kotapinang. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, atau trackback from your own site.
damean said
jadi ingat masa kecil.. di kota pinang…..
Kotapinang said
Hehehehe!!! Emang tujuannya seperti itu bang! Agar kita bisa bernostalgia dengan masa lalu!!!
rudi said
aku dulu waktu kocil hampir batumbuk, gara-gara konak lempar gincu di simpang rumbia…he…he…terima kasih sudah buat blog untuk kampung kita (Kota Pinang). Maju terus……
Kotapinang said
Hahaha!!! Memang pengalaman itu paling seru bro!!! Kapan ada hal seperti itu lagi!!!
Hasmar Pulungan SH said
saat ini masih ada ya,,,,ngak punah,,,lanjuuut,,,,, masa kecilku